Makassar, Rakyat News – Fluktuasi ketercapaian target prestasi atlet mungkin tidak lagi bermuara pada kesalahan program latihan yang diterapkan pelatih, mengingat hampir semua pelatih adalah orang-orang professional yang telah mendalami profesinya puluhan tahun bahkan banyak diantara mereka adalah mantan atlet yang hebat pada masanya, dengan hal itu kita dapat memikirkan bahwa seorang atlet tidak hanya perlu untuk meminati suatu cabang olahraga, menjalani latihan-latihan yang sesuai dan kemudian dilakukan monitoring atas prestasinya hanya karena ungkapan bahwa “seorang atlet tidak dilahirkan, tetapi dibentuk”, namun juga perlu diketahui bahwa ada bakat lahir yang dibawa oleh setiap individu, bakat lahir yang dimaksud adalah potensi-potensi genetik yang dimiliki oleh setiap individu sejak mereka dilahirkan.

Gen adalah wadah yang menyampaikan semua faktor-faktor keturunan dari
orangtua mulai dari karakter fisik seperti tubuh yang tinggi, berkaki cepat, bertungkai panjang, jenis serabut otot dan sebagainya. Prestasi atlet dengan variasi genetik yang sesuai akan lebih baik daripada atlet lain yang menjalani latihan yang sama dengan motivasi yang sama namun tidak memiliki variasi genetik yang sesuai.
 
Variasi genetik terkait dengan variabilitas kekuatan dan kecepatan fisik seseorang atau bakatnya menjadi atlet, misalnya pada kekuatan otot yang ternyata dipengaruhi oleh faktor keturunan, salah satu contoh adalah adanya variasi jenis serat otot, jika lebih banyak memiliki serat otot tipe I otot lambat (slow twitch), maka orang tersebut lebih mampu melakukan kegiatan yang berhubungan dengan ketahanan otot, tetapi sulit meningkatkan massa ototnya, sebaliknya orang dengan serat otot tipe II otot cepat (fast twitch) lebih mudah menaikkan massa ototnya, tetapi memiliki kesulitan dengan daya tahan otot.

Salah satu gen olahraga yang dikenal adalah ACE yaitu sebuah gen yang berlokasi pada lengan panjang kromosom 17 yang mengkode suatu enzim (angiotensin I converting enzyme) yang bertugas mengubah angiotensin I yang inaktif menjadi angiotensin II yang aktif.

Angiotensin II berperan dalam memicu pengecilan diameter pembuluh darah yang mengarah pada kenaikan tekanan darah. Angiotensin II juga berperan mendegradasi zat yang bertugas membesarkan diameter pembuluh darah. ACE diekspresikan secara luas pada otot skelet dan memainkan peranan metabolik yang penting selama olahraga.

Rendahnya aktivitas ACE dan meningkatnya kinins memiliki efek postif pada metabolisme substrat-susbtrat terkait. Hal ini mengarah pada meningkatnya efisiensi respirasi sel dan fungsi kontraktil otot jantung dan skelet, suatu kualitas yang dibutuhkan pada olahraga-olahraga yang membutuhkan ketahanan fisik (endurance), seperti marathon.

Teori ini kemudian dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pelari jarak jauh (marathon) memiliki frekuensi ACE I yang lebih tinggi daripada populasi biasa non-atlet (Hruskovicova, 2006), penelitian terbaru yang turut menguatkan teori ini adalah penelitian yang berhasil membuktikan endurance atlet dengan ACE I lebih baik dari atlet dengan ACE D, tetapi dalam kemampuan explosive power atlet dengan ACE D lebih baik dari atlet dengan ACE I (Arimbi, 2015).

Jika potensi genetik seperti ini dipadukan dengan strategi pembinaan yang disiplin dan terarah dengan baik maka tidak diragukan beberapa tahun lagi Indonesia akan meraih kembali kejayaannya bahkan jauh lebih baik daripada beberapa dekade
sebelumnya.

Pendekatan yang relatif baru ini perlu untuk menjadi bahan pertimbangan Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam menentukan strategi yang sesuai untuk pembinaan bibit-bibit atlet muda demi mendongkrak prestasi olahraga nasional pada umumnya. (*)

Penulis : Dr. Arimbi, M.Pd, Peneliti dan Pengajar di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar
Ketua Umum Lembaga Pengembangan Potensi Prestasi dan Kesehatan Olahraga
Indonesia (P3KORIN) Sulawesi Selatan – Indonesia.