Namun, tentu ada dampak konsekuensi dari penundaan pilkada serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tersebut. Penundaan bakal berimbas kepada anggaran yang telah digelontorkan dan kondisi sumber daya manusia (SDM) dari penyelenggara.
Sebenarnya pemerintah bisa saja menghemat anggaran negara dengan tidak memberikan atau menunda pemberian honor sejumlah yang telah diputuskan di surat keputusan.

Cukup negara hanya memperioritaskan anggaran setiap daerah dengan membayarkan kegiatan yang sudah dilakukan oleh KPU ditiap-tiap daerah. Sisa anggaran lainnya bisa digunakan untuk mempersiapkan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 selesai atau bisa direlokasi ke anggaran bantuan penanggulangan pandemi Covid-19.

Apalagi ada prediksi yang mengatakan bahwa pandemi ini baru selesai paling cepat di bulan September 2020 dan paling lama bulan Januari 2021. Sehingga, bisa saja aktivitas KPU, khususnya perekrutan tenaga ad hoc dan tahapan pemilihan baru bisa dijalankan di tahun 2021.

Jika dicermati, keputusan penundaan Pilkada adalah keputusan terbaik agar konsetrasi negara tidak terbagi. Di situasi seperti saat ini, negara harus fokus pada penanganan Covid-19 yang konfirmasi positifnya sudah mencapai angka 6.000 lebih. Jika konsentrasi terbagi, bisa saja kinerja KPU dan Pemerintah banyak yang terabaikan dan hasil kinerja yang dilakukan pemerintah bisa saja tidak menuai hasil maksimal.

Oleh sebab itu, penulis menilai pemerintah perlu untuk membuat Perppu sebagai acuan pengunduran Pilkada 2020 agar penanggulangan Covid-19 bisa dijalankan secara maksimal. Karena diakui atau tidak, kunci pengunduran Pilkada 2020 terletak pada payung hukum yang melegitimasi dan hal inilah yang harus diprioritaskan oleh pemerintah serta pembuat undang-undang saat ini hingga beberapa waktu kedepan.(*)

Terbit : Sabtu, 25 April 2020.