Makassar, Rakyat News — Kecenderungan kandidat menyandera parpol lalu maju melalui jalur perseorangan dipandang bakal merusak tatanan demokrasi. Bukan hanya itu, juga akan membuat parpol hanya sebagai kendaraan cadangan.

“Ini preseden buruk bagi parpol. Undang-undang memberi ruang pilihan untuk maju sebagai calon kepala daerah. Pilih maju lewat jalur partai atau maju lewat perseorangan,” kata akademisi dari Universitas Hasanuddin, Andi Lukman Irwan.

Karena ruangnya pilihan, lanjut dosen Ilmu Politik Unhas ini, kandidat seharusnya memilih. Sebab, ia mengibaratkan, pemilihan kendaraan ini di pilkada sangat tegas dalam UU. Sama dengan urusan jenis kelamin. “Kalau bukan laki-laki, yah perempuan,” katanya.

Karena itu, menurut Lukman, parpol tentu memiliki pertimbangan matang dalam menentukan usungannya di Pilkada. Sebab, ia meyakini, parpol tidak akan rela hanya jadi penonton. “Parpol itu punya infrastruktur jaringan untuk tujuan elektoral. Kalau hanya jadi kendaraan cadangan, tentu sangat rugi,” katanya.

Apalagi, Pilkada 2018 merupakan arena untuk mengaktivasi semua infrastruktur jaringan. Bukan sekadar tujuan pilkada, tetapi lebih dari itu, untuk memenangkan Pemilu 2019.

“Oleh karena itu, saya masih sangat yakin, partai-partai seperti Demokrat dan PKS sebagai partai kader tentunya tetap akan mengutamakan kader-potensialnya untuk didorong maju di Pilkada,” tegasnya.

Bagi dia, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keyakinan tersebut. Pertama, mengusung kader internal lebih kecil peluang memunculkan riak-riak di internal partai dibandingkan mengusung kader eksternal. Apalagi, mengusung orang eksternal yang secara historis memiliki rekam jejak meninggalkan partai pengusungnya setelah kontestasi.

“Ini yang paling berbahaya bagi parpol. Saya masih ingat persis bagaimana Demokrat berjuang memenangkan DIA di Pilkada lalu, tetapi setelah terpilih justru mesra dengan Golkar. Ini contoh kecil yang pasti jadi pertimbangan,” katanya.