“Hanya Pak Prabowo yang mengikuti rute pengkaderan, mendirikan partai dan maju sebagai calon presiden. Kalau yang lainnya itu provokasi lembaga survei, bahkan diancam kalau nggak dijalankan ini bisa gawat, sehingga surveinya tiba-tiba gede-gede (besar-besar) semua,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menggelar debat capres mengisi kekosongan waktu hingga 6-7 bulan ke depan sebelum masa pendaftaran peserta Pilpres 2024 ini dimulai.

“Karena tidak ada perdebatan ide dan gagasan dari capres, maka wajar mereka baru minum kopi, diajak ngumpul makan bakso, makan nasi goreng. Kita akan menyaksikan akan lebih banyak lagi kuliner yang bermunculan, bukannya perdebatan. Harusnya penyelenggara Pemilu bikin aturan, dan memfasilitasi perdebatan capres saat ini,” pungkasnya.

Keadaan Dikte Koalisi

Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung menyebut koalisi seharusnya mendikte keadaan, bukan keadaan yang mendikte koalisi.

Maksudnya, saat ini, kata Rocky, koalisi partai malah mengikuti arus pergerakan politik, bukan koalisi yang menentukan apa keputusan yang harus diambil secara mandiri.

“Jadi apa yang kita sebut koalisi sebetulnya hanyalah upaya untuk saling mengintip, saling mengintai, kan itu dasarnya,” ujar Rocky.

Ia menyebut, koalisi partai politik saat ini terlihat plin-plan. Apalagi saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bermain dengan endorse tokoh bakal calon presiden dengan asal koalisi yang berbeda-beda.

“Jadi dari awal koalisi ini adalah barang busuk di dalam demokrasi di Indonesia, di tempat lain itu gak ada,” katanya. Menurut Rocky, di negara lain, koalisi partai politik akan menuntun secara koheren dan konsisten tokoh politik yang diusung mereka untuk maju dalam pencalonan.

Sedangkan di Indonesia, ujar Rocky, keputusan yang dihasilkan dari koalisi malah menunggu sinyal dari seseorang yang bukan anggota koalisi.